Pengetahuan Tentang Hari Kiamat
Jumat, 24 Februari 2012 06:55:22 WIB
PENGETAHUAN TENTANG HARI KIAMAT
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang hanya
diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak
ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya
diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada
seorang Malaikat yang didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang
diutus[1]. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat
kecuali Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keadaan
Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu bertanya
kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu
adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat
al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat
adalah sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.
Di antaranya adalah firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا
عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ
ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً
ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا
عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’
Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada
sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya
pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang
terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang
mengetahui masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang
pun dari penduduk langit dan bumi mengetahuinya.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ
اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah,
‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi
Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu
sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]
Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat
menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya
(ketentuan waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]
Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali kepada Allah semata.
Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari Kiamat -sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.”[2]
Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi, begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak mengetahui kapan
Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat sudah dekat.
Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat,
sebagaimana akan dijelaskan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula Ibnu Majah dan
al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَقِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَـى وَعِيْسَى،
قَالَ: فَتَذَاكَرُوا أَمْرَ السَّاعَةِ، فَرَدُّوا أَمْرَهُمْ إِلَى
إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى
مُوسَى، فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى
عِيْسَـى فَقَالَ: أَمَّا وَجْبَتُهَا؛ فَلاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ إِلاَّ
اللهُ ذَلِكَ، وَفِيمَـا عَهِدَ إِلَيَّ رَبِّـي عَزَوَجَلَّ أَنَّ
الدَّجَّالَ خَارِجٌ، قَالَ وَمَعِي قَضِيبَانِ، فَإِذَا رَآنِـي، ذَابَ
كَمَا يَذُوبُ الرَّصَاصُ. قَالَ: فَيُهْلِكُهُ اللهُ.
“Pada malam aku di-Isra'kan ke langit, aku bertemu dengan Ibrahim, Musa,
dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan tentang
perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada
Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya,
kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak
memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’
Akhirnya beliau berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada
seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Di antara wahyu yang
diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan
keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa dua pedang. Jika dia
melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang meleleh.’ Beliau
berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]
Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul, dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.
Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah
Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau
wafat:
تَسْأَلُونِي عَنِ السَّاعَةِ؟ وَإِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ
وَأُقْسِمُ بِاللهِ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ تَأْتِي
عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ.
‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan ilmunya
hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak
ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur
seratus tahun.’” [4][5]
Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.
Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini adalah pemimpin
para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah semoga
dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin
perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana
semua manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana
beliau pun bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl
bin Sa’ad Radhiyallahu anhuma:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.
‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’ [6]
Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya (jari tengah).
Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya agar
mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya,
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“... Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu
adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
[Al-A’raaf: 187][7]
Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang bodoh, karena
ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan menolak
anggapan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang mengaku-aku sebagai
ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan. Dia
berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan
kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui
kapan terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan
kepadanya, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa salla pernah bersabda di dalam
hadits Jibril:
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’
Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”
Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan penyelewengan makna yang
paling buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih mengenal Allah,
(maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang dianggapnya
sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu
terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu
bahwa dia adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam jujur dalam perkataannya, beliau bersabda:
مَا جَائَنِيْ فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]
Dalam lafazh yang lain:
مَا شُبِّهَ عَلَيَّ غَيْرَ هَذِهِ الْمَرَّةِ.
“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain pada kesempatan ini.”
Sementara dalam lafazh yang lain:
رُدُّوْا عَلَيَّ اْلأَعْرَابِيَّ...
“Bawa kepadaku orang badui itu...”
Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia adalah Jibril
setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar Radhiyallahu
anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau
bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]
Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau mengetahui
bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara
beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang
waktu berlalu!”
Kemudian ungkapan dalam hadits: (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ
مِنَ السَّائِلِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya, maka
setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya
adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]
Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda dan
mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih
ketika ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.
Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang diungkapkan oleh
as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas pertanyaan
tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya
selama seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal
ini adalah bathil tidak ada landasannya sama sekali.”
Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam masalah ini
dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di
dalamnya beliau berkata:
Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya masa umat ini
lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus tahun;
karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh
ribu tahun, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di akhir tahun
keenam ribuan.[11]
Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang kesimpulannya sama
sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus tahun. Kemudian
beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan
landasan oleh beliau:
Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir
dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku bermimpi,
kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,”
selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:
إِذَا أَنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى مِنْبَرٍ فِيْهِ سَبْعُ
دَرَجَاتٍ، وَأَنْتَ فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً. فَقَالَ: أَمَا الْمِنْبَرُ
الَّذِيْ رَأَيْتَ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ وَأَنَا فِي أَعْلاَهَا
دَرَجَةً، فَالدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ، وَأَنَا فِي آخِرِهَا
أَلْفًا.
“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di atas mimbar yang
memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling tinggi,”
kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki
tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa
(umur) dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang
terakhir.” [12]
Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa hadits ini
dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara mauquf
kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih,
dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan
beberapa atsar.
Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam: “... dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.”
Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh ribu,
agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir
tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu,
niscaya tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan
terbitnya matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun
sebelum masa kita ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh
ribu, sementara tidak terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini
menunjukkan bahwa sisa dari tahun ketujuh ribu lebih dari tiga ratus
tahun. [14]
Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah, dan
(perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam
al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak
diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita
mengetahui umur dunia, niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat.
Anda telah mengetahui sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan
hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak diketahui kapan terjadinya
kecuali oleh Allah Ta’ala.
Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu (pendapat
as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah,
sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi
menyatakan bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal
seratus tahunan dan ‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian
beliau berdiam di bumi selama empat puluh tahun, manusia berdiam di
bumi setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun,
dan jarak di antara dua tiupan (Sangkakala) adalah empat puluh tahun,
ini semua mesti terjadi dalam masa dua ratus tahun [15]. Lalu
berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar sekarang maka mesti
dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun seribu enam
ratus.
Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi umur dunia.
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab al-Manaarul Muniif
beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah hadits. Beliau
berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash al-Qur-an
yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa
umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh
ribu tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya
hadits ini shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi
dua ratus lima puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]
Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia mengatakan
perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih dari
enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.
Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyat
(kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul
Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu dengan ribuan dan ratusan
tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan menyalahkan
mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras sementara
mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah
hadits:
اَلدُّنْيَا جُمْعَةٌ مِنْ جُمَعِ اْلآخِرَةِ.
“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di akhirat.”
Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak shahih sanad
setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara
tepat.[17]
Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari
Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan muncul-nya
tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini akan
seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak
benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang
menetapkannya sebagai sebuah ijtihad dari beliau, dan awal
perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam ke Madinah.
Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu
membutuhkan cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat
tersebut) yang bisa mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana
(menentukan) waktu terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui
pada tahun manakah ia akan terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang
diketahui) bahwa ia akan terjadi pada hari Jum’at di akhir waktunya.
Waktu di mana Allah menciptakan Adam Alaihissallam, akan tetapi Jum’at
yang mana? Tidak seorang pun mengetahui tepatnya hari tersebut kecuali
Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian pula masalah
tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya yang pasti,
wallahu a’lam.[18]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin
Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi
Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Barzanji berpendapat bahwasanya Nabi Shallallahu 'laihi wa
sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, akan tetapi dilarang
mengabarkannya. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal.
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil
an-Nabiyya Shallallahu 'laihi wa sallam ‘anil Iimaan wal Islaam wal
Ihsaan wa ‘Ilmis Saa’ah wa Bayaanin Nabiyyi Shallallahu 'laihi wa sallam
lahu (I/114, al-Fat-h).
[3]. Musnad Ahmad (V/189, no. 3556), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Sunan Ibni Majah (II/1365), tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi,
al-Bushairi berkata dalam kitab az-Zawaa-id, “Ini adalah sanad yang
shahih, rijalnya tsiqah.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/488-489), beliau berkata, “Ini adalah hadits
yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak
meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Akan tetapi Syaikh
al-Albani melemahkannya dalam kitab Dha’iif al-Jaami’ish Shaghiir
(V/20-21, no. 4712).
[4]. Maksudnya adalah tidak ada makhluk hidup yang hidup pada malam itu
hidup selama seratus tahun, hal ini tidak menafikan adanya makhluk hidup
lahir setelah malam itu yang mengalami hidup selama seratus tahun
sebagaimana diungkapkan oleh an-Nawawi.-pent.
[5]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Radhiyallahu anhum,
bab Bayaan Ma’na Qaulihi Shallallahu 'laihi wa sallam ‘alaa Ra'-si
Mi-atis Sanah la Yabqa Nafsun Manfuusah (XVI/90-91, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu
'laihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’ah ka Haataini, (XI/347,
al-Fat-h).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (III/526).
[8]. Musnad Ahmad (I/314-315, no. 374), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau
berkata, “Isnadnya shahih.” Sementara lafazh Muslim adalah:
مَا أَتَانِي فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa pun kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.”
[9]. Shahiih Muslim kitab al-Iimaan, bab Imaaraatus Saa’ah (I/159, Syarah an-Nawawi).
Ibnu Hajar t berkata, “Adapun yang disebutkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits:
وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
‘Ia adalah Jibril yang turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi.’
Sesungguhnya ungkapan “turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi” adalah Wahm,
karena Dihyah adalah orang yang dikenal di kalangan mereka, sementara
‘Umar berkata, “Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Dan
Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah meriwayatkan dalam kitabnya
al-Iimaan dengan bentuk (jalan) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i, di
akhir ungkapannya beliau hanya bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang
kepada kalian untuk mengajarkan masalah agama kepada kalian.” Inilah
riwayat al-Mahfuuzhah (yang terjaga) karena kesesuaiannya dengan riwayat
yang lainnya, (Fat-hul Baari I/125).
[10]. Al-Manaarul Muniif (hal. 81-82), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu
Guddah, dan lihat ta’liq Syaikh terhadap ungkapan Ibnul Qayyim, lihat
pula Majmu’ al-Fataawaa', karya Ibnu Taimiyyah (IV/341-342).
[11]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/86), karya as-Suyuthi, cet. II (1395 H), Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[12]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/88).
[13]. Lihat kitab Taariikhul Umam wal Muluuk, karya Abu Ja’far ath-Thabari (I/ 5-10) cet. Darul Fikr, Beirut.
[14]. Al-Haawi (II/88).
[15]. Al-Haawi (II/87).
[16]. Al-Manaarul Muniif (hal. 80) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu
Guddah, dan lihat kitab Majmu’ al-Fataawaa (IV/342), karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/15) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[18]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 628),
karya Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad Ahmad al-Qurthubi,
disebarluaskan oleh al-Maktabah as-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah.